JAKARTA - Isu pemerataan akses pendidikan masih menjadi pekerjaan besar dalam pembangunan sumber daya manusia di Indonesia.
Di tengah komitmen negara untuk menghadirkan kesempatan yang setara bagi seluruh warga, kelompok penyandang disabilitas masih menghadapi berbagai keterbatasan dalam memperoleh layanan pendidikan yang berkelanjutan. Kondisi tersebut mendorong perlunya perhatian serius dari seluruh pemangku kepentingan agar pendidikan inklusif benar-benar terwujud, tidak sekadar menjadi wacana kebijakan.
Pendidikan Inklusif Jadi Bagian Pembangunan Manusia
Wakil Ketua MPR RI Lestari Moerdijat menegaskan pentingnya kemudahan akses pendidikan yang berkelanjutan bagi penyandang disabilitas sebagai bagian dari upaya membangun kemandirian dan produktivitas di masa depan. Menurutnya, pendidikan merupakan hak dasar yang harus dapat diakses oleh seluruh warga negara tanpa terkecuali, termasuk mereka yang memiliki kebutuhan khusus.
"Upaya membangun kemudahan akses pendidikan yang berkelanjutan bagi penyandang disabilitas harus konsisten ditingkatkan, demi mewujudkan kesempatan yang setara bagi setiap warga negara untuk berkontribusi dalam setiap proses pembangunan," kata Lestari.
Data Partisipasi Pendidikan Masih Rendah
Dorongan tersebut disampaikan seiring dengan masih rendahnya tingkat partisipasi pendidikan di kalangan penyandang disabilitas. Berdasarkan data Komisi Nasional Disabilitas (KND) per Oktober 2025, hanya 4,3 persen penyandang disabilitas di Indonesia yang mengenyam pendidikan. Sementara itu, 17,7 persen tercatat tidak atau belum sekolah, dan 78 persen tidak sekolah lagi. Angka tersebut menunjukkan kesenjangan yang cukup besar dibandingkan kelompok masyarakat lainnya.
Selain itu, rata-rata lama sekolah penyandang disabilitas di Indonesia tercatat hanya 5,32 tahun. Kondisi ini mencerminkan tantangan serius dalam upaya menciptakan sistem pendidikan yang benar-benar inklusif dan berkelanjutan. Menurut Lestari, situasi tersebut harus segera dijawab dengan langkah nyata dan terukur dari berbagai pihak.
Inklusivitas Harus Menjadi Budaya Pendidikan
Ia menilai bahwa membangun sistem pendidikan inklusif tidak bisa dilakukan secara parsial atau bersifat sementara. Diperlukan pendekatan menyeluruh yang menjadikan inklusivitas sebagai nilai dan budaya di seluruh lini pendidikan. Tanpa komitmen jangka panjang, berbagai program yang telah dirancang berisiko tidak memberikan dampak signifikan bagi peningkatan kualitas hidup penyandang disabilitas.
Rerie, sapaan akrab Lestari, menekankan bahwa inklusivitas seharusnya tidak diposisikan sebagai program tambahan semata, melainkan menjadi bagian dari sistem pendidikan nasional. Dengan demikian, setiap satuan pendidikan memiliki kesadaran dan kesiapan dalam melayani peserta didik dengan kebutuhan yang beragam.
Pendidikan Inklusif Bangun Kemandirian
Rerie, yang juga anggota Komisi X DPR RI, meyakini bahwa pendidikan inklusif merupakan fondasi utama dalam membangun kemandirian sekaligus produktivitas setiap anak bangsa. Pendidikan yang ramah dan adaptif diyakini mampu membuka ruang bagi penyandang disabilitas untuk mengembangkan potensi diri secara optimal, sehingga dapat berkontribusi secara aktif dalam kehidupan sosial dan ekonomi.
Sinkronisasi Data dan Tenaga Pendidik Jadi Kunci
Dalam pandangannya, upaya mewujudkan pendidikan inklusif harus didukung oleh berbagai langkah konkret. Ia menyebutkan pentingnya sinkronisasi dan harmonisasi data sebagai dasar perencanaan kebijakan yang tepat sasaran. Data yang akurat dan terintegrasi akan memudahkan pemerintah dalam menyusun program pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan penyandang disabilitas di berbagai daerah.
Selain itu, ketersediaan tenaga pendidik yang memadai dan memiliki kompetensi dalam pendidikan inklusif juga menjadi faktor krusial. Tanpa dukungan sumber daya manusia yang memahami karakteristik dan kebutuhan peserta didik disabilitas, proses pembelajaran berpotensi tidak berjalan optimal.
Pendampingan Hingga Transisi Dunia Kerja
Rerie juga menyoroti pentingnya penguatan sistem pendampingan bagi penyandang disabilitas, mulai dari jenjang pendidikan dasar hingga pendidikan lanjutan. Sistem pendampingan yang baik diyakini dapat membantu peserta didik disabilitas dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan belajar serta menghadapi berbagai tantangan akademik dan nonakademik.
Tidak kalah penting, menurutnya, adalah kesiapan transisi dari dunia pendidikan ke dunia kerja. Pendidikan inklusif yang berkelanjutan harus mampu membuka jalan bagi penyandang disabilitas untuk memasuki dunia kerja secara mandiri dan bermartabat.
Kolaborasi Semua Pihak Perlu Diperkuat
Ia juga mendorong agar komitmen pemerintah pusat dan daerah, masyarakat, serta dunia usaha dapat terus diperkuat. Kolaborasi lintas sektor dinilai menjadi kunci dalam mewujudkan akses pendidikan yang merata dan berkelanjutan bagi penyandang disabilitas.
Menurut Rerie, langkah-langkah tersebut merupakan bagian dari upaya konkret menuju pembangunan sumber daya manusia yang tangguh, mandiri, dan produktif untuk kemajuan Indonesia di masa depan.